Search This Blog

Saturday, March 29, 2014

Pedihnya Hidup Ableh di Perkampungan Cina Benteng Tangerang

Senin, 24/03/2014 12:04 WIB
Wong Cilik
Pedihnya Hidup Ableh di Perkampungan Cina Benteng Tangerang
Dhani Irawan - detikNews


Ableh


Tangerang - Matahari berdiri tepat di atas ubun-ubun. Panas tak dihiraukan Ableh (53), yang sedari tadi berkutat membersihkan makam di pekuburan di daerah Sewan, Rawa Kucing, Tangerang.

Kulit Ableh kusam karena sering bergelut dengan tanah makam. Telapak tangannya jauh dari kata halus. Saat itu, dia sedang mencabuti rumput liar yang tumbuh di atas gundukan makam khas etnis Tionghoa.



"Kerjaan ya apa aja. Serabutan gini. Ini ngebersihin makam punya orang, disuruh ya saya kerjain. Apa aja asal ada bayarannya," kata Ableh di sebuah perkampungan Cina Benteng, Sewan, Tangerang, Banten, Selasa (18/3/2014).

Ableh adalah nama yang disematkan orang-orang padanya. Kalau nama asli Ableh yaitu Tan Cang In. Pria keturunan Tionghoa itu sudah tinggal di RT 03/06, Sewan, Rawa Kucing, Tangerang, Banten sejak tahun 1978.

"Kalau saya aslinya dari Kota, di Jembatan Dua. Bini yang asli sini. Abis nikah baru saya pindah ke sini. Itu juga rumah bukan punya sendiri. Saudara ngasih, ya kita nempatin aja," kata Ableh sembari mengambil air dari kubangan tak jauh dari situ untuk disiram ke gundukan tanah makam.

Ableh mengaku dibayar setahun sekali untuk membersihkan makam dari rumput liar. Kadang dia membersihkan seminggu sekali atau 2 minggu sekali. Bapak 3 anak itu diberi tanggung jawab untuk membersihkan sekitar 10 makam di pekuburan itu.

"Biasanya dibayar setahun sekali. Kalau ini Rp 150 ribu setahun, kalau yang kecil kayak gitu ya paling Rp 50 ribu. Itupun kadang dibayar juga orangnya sambil ngomel. Dibilang kurang bersih lah, kurang rapi lah," ucap Ableh sambil sesekali mengelap tangannya yang penuh lumpur.

Membersihkan makam bukanlah pekerjaan tetap Ableh. Seringkali Ableh menerima apapun atau biasa disebut kerja serabutan. Yang penting tungku di rumah tetap mengepul.

"Kadang ada temen yang nyuruh benerin genteng. Dari pagi sampai sore itu. Barang Rp 40 ribu dapet lah yang penting bisa ngempan (memberi makan) anak bini," ucapnya.

Rumah Ableh hanya sepelemparan batu saja dari pekuburan orang-orang Tionghoa itu. Tampak atapnya yang dari jerami dengan dinding dari anyaman bambu serupa bilik. Namun Ableh tak mengeluh dengan keadaannya yang memprihatinkan itu.

"Ya bahagia aja lah, walaupun hidup saya sekarang, ketemu uang ya udah syukur, nggak ya nggak apa-apa," kata Ableh sembari duduk di antara makam-makam etnis Tionghoa yang menjulang.

Mata Ableh memang sipit seperti laiknya orang-orang keturunan Tionghoa. Namun kesan kulit yang putih cerah tidak tampak pada Ableh. Seolah daki kehidupan yang berat telah mengerak di setiap jengkal tubuhnya.

"Saya mah nggak peduli (sama para pemimpin). Belum tentu gue mikirin elu, elu juga mikirin gue. Yang penting saya nyari duit aja buat ngasih makan anak bini," gugatnya pada para calon pemimpin bangsa yang menggembar-gemborkan kepedulian pada rakyat kecil.

Sumber:
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/03/24/120411/2534552/1567/pedihnya-hidup-ableh-di-perkampungan-cina-benteng-tangerang

No comments:

Post a Comment