tag:blogger.com,1999:blog-55888920036916564762024-03-12T21:18:34.117-07:00Pantang MengemisOrang-orang kecil yang mencari nafkah secara Halal. Belilah dari mereka.Unknownnoreply@blogger.comBlogger17125tag:blogger.com,1999:blog-5588892003691656476.post-26221750583816433412014-04-25T22:47:00.000-07:002014-04-25T22:47:00.043-07:00Kisah Yunus Bocah 8 Tahun yang Bekerja Menyemir Sepatu untuk Obati KankerKisah Yunus, Bocah 8 Tahun yang Bekerja Menyemir Sepatu untuk Obati Kanker<br />
Khairul Ikhwan - detikHealth<br />
Minggu, 13/04/2014 10:58 WIB<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-veY8gidlfoY/U0olZpw9JfI/AAAAAAAAExM/fKc6_siXJPg/s1600/110258_yunuskhairulikhwan_111.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://1.bp.blogspot.com/-veY8gidlfoY/U0olZpw9JfI/AAAAAAAAExM/fKc6_siXJPg/s1600/110258_yunuskhairulikhwan_111.jpg" height="256" width="320" /></a></div><br />
<br />
Jakarta, Kanker kelenjar getah bening bercokol di leher Yunus Ramadhan, bocah 8 tahun, asal Jalan Melati, Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Medan, Sumatera Utara (Sumut). Penyakit itu membuat lehernya tak bisa digerakkan dengan normal. Karena ingin segera sembuh, Yunus yang berasal dari keluarga kurang mampu pun berusaha mengumpulkan biaya pengobatan dengan menyemir sepatu.<br />
<br />
Menurutnya, masalah di lehernya sudah muncul saat dirinya berusia dua tahun. Sayangnya, orang tuanya tidak punya cukup uang untuk membawanya berobat. Alhasil penyakit itu dibiarkan begitu saja.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
"Sekarang leher tidak bisa digerakkan," kata Yunus kepada wartawan, dan ditulis pada Minggu (13/4/2014).<br />
<br />
Leher Yunus kini kaku, tidak bisa digerakkan ke kiri maupun ke kanan. Jadi jika ingin melihat ke samping, dia harus memutar badannya. Penyakit itu juga membuat badannya kurus dan suaranya terdengar pelan saat berbicara, bahkan nyaris tak terdengar.<br />
<br />
Beberapa kali Yunus pernah mendapatkan perobatan di puskesmas dekat rumahnya. Tapi upaya pemulihan lebih lanjut kadangkala terhenti karena keterbatasan biaya.<br />
<br />
Kemiskinan sudah lama membelit keluarga Yunus. Ayah Yunus meninggal saat dia masih kecil, sementara ibunya Darni Yusridawati (37) bekerja serabutan. Kadang sang ibu menjadi buruh bangunan, kadang ikut menggali sumur, kadang sebagai petugas cleaning service.<br />
<br />
Dalam upaya membantu biaya rumah tangga dan juga mengumpulkan uang untuk berobat, Yunus dan abang kandungnya Khaidir Ali (12) bekerja menyemir sepatu. Yunus yang kini duduk di kelas dua Sekolah Dasar (SD) dan Khaidir Ali yang duduk di kelas lima, bekerja menyemir sepatu setiap sepulang sekolah.<br />
<br />
Keduanya berkeliling ke warung-warung mencari pelanggan di sekitar Kecamatan Medan Polonia. Sekali menyemir dia mendapat upah Rp 2.000. Namun terkadang mereka diberi upah lebih oleh orang-orang yang kasihan.<br />
<br />
Setiap hari keduanya bisa mengumpulkan Rp 20 ribu, namun sering pula kurang dari itu. Untuk mendapatkan uang lebih, keduanya memulung bekas gelas plastik air mineral kemasan, dan barang-barang bekas lainnya.<br />
<br />
"Dikumpulkan untuk menambah uang," kata Yunus.<br />
<br />
Sebelum dijual ke penampung, barang-barang bekas itu ditumpuk sementara di rumah mereka. Rumah yang terbuat dari kayu dan tepas itu luasnya sekitar 3 x 3 meter. Rumah itu mereka sewa dengan biaya Rp 200 ribu sebulan.<br />
<br />
Yunus terlihat tabah dengan penyakit yang dideritanya. Hingga kini, dia masih berharap keajaiban bisa sembuh dengan mengoleskan minyak goreng ke lehernya. Sayangnya, hingga kini belum ada perubahan apapun yang dirasakan.<br />
<br />
"Kalau sedang bekerja menyemir tidak begitu sakit, tapi kalau malam sakit," kata Yunus sembari memegang lehernya.<br />
<br />
Dengan bekerja penyemir sepatu dan memulung barang bekas, Yunus berharap uang yang terkumpul dapat dipergunakan untuk mengobati penyakit yang dideritanya. Meskipun hingga saat ini uang yang dikumpulkan kerap kali terpakai saat keluarganya tidak memiliki uang untuk membeli makanan.<br />
<br />
Sumber:<br />
http://health.detik.com/read/2014/04/13/105852/2553529/1202/kisah-yunus-bocah-8-tahun-yang-bekerja-menyemir-sepatu-untuk-obati-kanker?991104topnewsUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5588892003691656476.post-19062585948847719392014-04-18T04:21:00.000-07:002014-04-18T04:21:00.196-07:00Nuriyah 20 Tahun Terseok-Seok Sebatang Kara Memulung Kardus di Ibu KotaKamis, 03/04/2014 09:41 WIB<br />
Wong Cilik<br />
Nuriyah, 20 Tahun Terseok-Seok Sebatang Kara Memulung Kardus di Ibu Kota<br />
Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-SoSsJC_T5wg/U0KKPRBTFSI/AAAAAAAAEwc/A8dSnlAH0Tk/s1600/094310_nuriya.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://4.bp.blogspot.com/-SoSsJC_T5wg/U0KKPRBTFSI/AAAAAAAAEwc/A8dSnlAH0Tk/s1600/094310_nuriya.jpg" height="213" width="320" /></a></div><br />
Jakarta - Taman nan indah di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, itu nampak indah dengan serangkaian wahana permainan anak. Bergandengan dengan sebuah puskesmas, taman ini begitu ramah untuk warga Ibu Kota.<br />
<br />
Berjalan menarik gerobak sambil terseok-seok dengan tumpukan kardus-kardus di sekitaran taman adalah Bu Nuriyah (53). Wajahnya nampak lelah, jalannya tak seimbang, sementara badannya kurus.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
“Saya sudah lama memulung di sini, ada kali 20 tahun lebih, kurang ingat jelas saya,” tutur Nuriyah di siang hari Jumat (28/3/2014).<br />
<br />
Bersandarlah dia di gerobak yang ukurannya hampir dua kali lipat dari tubuhnya. Sepertinya dia lelah menarik gerobak itu.<br />
<br />
“Kaki saya kena asam urat parah sejak dua tahun lalu, buat duduk sudah nggak bisa. Makanya kalau istirahat cuma sandaran di gerobak begini. Kaki saya tak bisa nekuk,” ujar dia.<br />
<br />
Melihat kondisi seperti itu mungkin terbersit di benak orang-orang akan insan yang merawat Bu Nuriyah ini. Setidaknya bila memiliki anak tentu kesehatan Bu Nuriyah terjaga.<br />
<br />
“Saya di Jakarta seorang diri. Sudah empat kali cerai waktu masih di Rangkasbitung (Banten-red) dan belum punya anak. Di sini saya tinggal di trotoar samping RS Tarakan,” tutur Nuriyah.<br />
<br />
Usai beristirahat sejenak sambil bersandar, Nuriyah kembali melanjutkan langkah dia perlahan-lahan. Tumpukan kardus yang dia kumpulkan sepertinya cukup untuk hari ini.<br />
<br />
“Kalau setinggi ini, sepenuh gerobak ini paling cuma dapat Rp 20.000. Lumayan buat makan sama berobat asam urat di Puskesmas,” ucap lirih Nuriyah.<br />
<br />
“Ini juga ngumpulinnya empat hari. Dulu pernah sekalinya sampe menggunung dapat kardus, biasanya pas abis lebaran. Itu dapat Rp 50.000,” imbuh dia.<br />
<br />
<br />
Sumber:<br />
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/04/03/094127/2543969/1567/1/nuriyah-20-tahun-terseok-seok-sebatang-kara-memulung-kardus-di-ibu-kotaUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5588892003691656476.post-11516224636640672752014-04-14T00:17:00.000-07:002014-04-14T00:17:00.034-07:00Bioskop Mini Ala Pak Riswan yang Merangkul Anak-AnakRabu, 02/04/2014 09:39 WIB<br />
Wong Cilik<br />
Bioskop Mini Ala Pak Riswan yang Merangkul Anak-Anak<br />
Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-P9WbVy91lKk/U0KI4pFBE-I/AAAAAAAAEwQ/ENLGEwQOjx8/s1600/094145_riswann.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://2.bp.blogspot.com/-P9WbVy91lKk/U0KI4pFBE-I/AAAAAAAAEwQ/ENLGEwQOjx8/s1600/094145_riswann.jpg" height="213" width="320" /></a></div><br />
<br />
Jakarta - Sebuah Sekolah Dasar (SD) di suatu sudut Jakarta Timur nampak ceria dengan siswa-siswi yang berlarian. Semangat menuntut ilmu sepertinya terpancar dari wajah-wajah mereka yang menggambarkan banyak cita.<br />
<br />
Seorang pria beruban terlihat duduk di barisan pedagang-pedagang, dengan pakaian lusuh dia menanti anak-anak sekedar mampir ke lapaknya untuk berbincang. Pria itu adalah Pak Riswan (65) yang menjajakan 'bioskop mini' di depan SD Negeri Cawang, Jakarta Timur.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
"Bioskop mini ini maksudnya anak-anak bisa nonton film tapi lewat lubang kecil yang di dalamnya ada pemutar film, yang mau nonton cukup bayar Rp 1.000 untuk satu film pendek yang diputar," ujar Riswan seusai waktu istirahat bagi siswa-siswi SD di hari Rabu (26/3/2014).<br />
<br />
Tepat di hadapan Pak Riswan terdapat sebuah kotak es warna biru yang diberi dua lubang untuk mengintip dan sebuah lubang dekat dengan pengeras suara. Dalam kotak itu terdapat sebuah pemutar cakram optik lengkap dengan monitor, sementara sebuah remot selalu digenggam Pak<br />
Riswan.<br />
<br />
Menunggu anak-anak sekolah pulang, Pak Riswan berbincang-bincang dengan pedagang yang lainnya. Saling tukar pengalaman menjadi menu perbincangan sehari-hari bagi Pak Riswan dan para pedagang lainnya.<br />
<br />
"Sebelum bikin bioskop mini ini, saya jualan anting-antingan, cincin-cincinan, pokoknya perhiasan imitasi gitu buat anak-anak. Tapi semua hilang saat banjir besar di Jakarta tahun 2007. Waktu itu banjir selalu parah di Jakarta. Setelah itu saya bantu-bantu istri saya<br />
berjualan sayur di pasar," tutur Pak Riswan.<br />
<br />
Seorang pedagang mainan anak nampak antusias mendengarkan kisah Pak Riswan. Saking antusias hingga dia pun semakin penasaran dari mana Pak Riswan mendapat ide untuk membuat bioskop mini yang digendongnya ke mana-mana.<br />
<br />
"Awalnya saya lihat seperti ini di Tangerang. Waktu itu saya lihat kok anak-anak ramai sekali berkerumun. Setelah saya lihat rupanya yang dilihat anak-anak itu bioskop mini seperti ini. Akhirnya pas saya pulang, saya bilang ke keponakan saya untuk dibikinkan seperti apa yang saya lihat di Tangerang," kata Pak Riswan mengisahkan.<br />
<br />
Pedagang mainan yang sedari tadi mendengarkan kisah Pak Riswan pun penasaran bagaimana bioskop mini dapat menjadi magnet bagi anak-anak. Agaknya dia tertarik mencoba hal serupa Pak Riswan bila memang hasilnya menggiurkan.<br />
<br />
"Kalau pas lagi mangkal di tempat yang baru sih ramai biasanya. Bisa dapat Rp 50.000 sampai Rp 100.000, tapi kalau sudah mangkal lama seperti di sini sih paling banyak Rp 25.000 saja," tutur Pak Riswan.<br />
<br />
"Uang segitu palingan cukup buat makan sehari untuk berdua dengan anak saya saja," sebut Pak Riswan selanjutnya.<br />
<br />
Tanpa terasa rupanya bel pulang sekolah berdering nyaring dan disusul anak-anak sekolah yang berlarian. Para pedagang termasuk Pak Riswan pun segera kembali ke lapak masing-masing menunggu barangkali ada yang sekadar mampir.<br />
<br />
"Saya paling suka kalau anak-anak sudah mampir, walaupun misalnya mereka tidak nonton kan setidaknya saya bisa ajak ngobrol-ngobrol. Misalnya ngobrol soal pelajaran di sekolah tadi," kata Pak Riswan.<br />
<br />
Sumber:<br />
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/04/02/093926/2542842/1567/bioskop-mini-ala-pak-riswan-yang-merangkul-anak-anakUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5588892003691656476.post-50515710253978600522014-04-10T04:11:00.000-07:002014-04-10T04:11:00.599-07:00Hidup untuk Berbakti, Uyun Penyapu Jalan Menunggu GajiSelasa, 01/04/2014 10:01 WIB<br />
Wong Cilik<br />
Hidup untuk Berbakti, Uyun Penyapu Jalan Menunggu Gaji<br />
Basuki Rahmat Nugroho - detikNews<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-MahQtQ2sxoE/U0KHgd3b5DI/AAAAAAAAEwI/pKiOSEJJieY/s1600/100337_uy.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://4.bp.blogspot.com/-MahQtQ2sxoE/U0KHgd3b5DI/AAAAAAAAEwI/pKiOSEJJieY/s1600/100337_uy.jpg" height="213" width="320" /></a></div><br />
Jakarta - Keramaian adalah potret jalanan Ibu Kota yang tak pernah tidur. Berserakan dedaunan kering biasa mewarnai manisnya hiasan jalan-jalan raya.<br />
<br />
Sebuah jalanan tempat para kusuma bangsa terbaring menggambarkan antitesa dari potret itu, di mana daun-daun kering tak nampak berserakan. Sisi jalan yang bebas dari daun kering tak lepas dari jasa seorang Uyun (43), yang selama empat tahun menyapu jalan.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
“Jadi tukang sapu sudah empat tahun, sebelumnya saya jadi pemulung. Tapi karena berat pekerjaan jadi pemulung itu, makanya saya pindah jadi tukang sapu,” tutur Uyun di Jl Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (25/3/2014).<br />
<br />
Siang bolong itu Uyun tengah menggoyangkan sapunya hilir mudik sepanjang jalan. Tak dia hiraukan mesin-mesin bising melaju cepat dekat dengan dia.<br />
<br />
“Tadinya sih saya kerja di swasta, tapi bangkrut perusahaannya. Sudah dua bulan ini ditarik ke dinas, tapi belum tahu nih kapan terima gajinya. Ya sementara hitungannya berbakti,” ungkap Uyun sambil mengusap peluh di dahi.<br />
<br />
Gesekan lidi dengan aspal menjadi melodi kehidupan Uyun yang tak lepas dari perjuangan hidup. Sang suami pun juga berkecimpung di dunia kebersihan dengan bergelut sebagai pengangkut sampah. Dari pekerjaan inilah keduanya dapat menghidupi tiga anaknya.<br />
<br />
“Kalau suami saya sebulan dapat Rp 1,5 juta, terus dipotong Rp 500 ribu buat bayar truk sampah yang ngangkut. Jadi bersih cuma Rp 1.000.000,” ucap dia.<br />
<br />
Mengandalkan penghasilan tunggal dari suami tentu tak akan cukup untuk membuat dapur mengepul sebulan penuh. Seperti orang bilang banyak jalan menuju Roma, tapi rupanya tak banyak pilihan bagi Uyun untuk sekedar menelan nasi.<br />
<br />
“Dulu pas perusahaan tempat saya kerja belum bangkrut, saya dibayar sehari Rp 45.000. Bisa buat makan lah. Tapi sekarang belum digaji lagi, jadi harus ngakalin dengan memulung botol plastik buat dijual di pengepul. Sehari paling nggak dapat Rp 15.000 yang dicukupin buat makan serumah,” kata Uyun.<br />
<br />
“Atau kalau kepepet juga bisa saja ngutang di warung. Daripada nggak makan. Yang penting anak-anak bisa makan lah,” imbuh Uyun.<br />
<br />
Perempuan asal Cianjur, Jawa Barat ini merasa masih cukup bersyukur ketika masih ada yang dimakan dalam sehari. Belum menerima gaji lantas tak menyurutkan bakti dia kepada lingkungan hidup dengan menyapu jalan.<br />
<br />
"Saya sih tetap jalani pekerjaan saya aja sebagai penyapu jalanan, supaya lingkungannya bersih," ujarnya lirih.<br />
<br />
Sumber:<br />
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/04/01/100149/2541654/1567/hidup-untuk-berbakti-uyun-penyapu-jalan-menunggu-gaji<br />
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5588892003691656476.post-4247229924679870622014-04-08T03:58:00.000-07:002014-04-08T03:58:00.110-07:00Ruri Tukang Sapu Museum Berhasil Menjual Hasta Karya ke Luar NegeriJumat, 28/03/2014 20:29 WIB<br />
Ruri Tukang Sapu Museum Berhasil Menjual Hasta Karya ke Luar Negeri<br />
Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews<br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-vN_DDHy53Uw/U0KFqKSadSI/AAAAAAAAEv0/yCKGAI_jHVo/s1600/203635_bikink111.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://1.bp.blogspot.com/-vN_DDHy53Uw/U0KFqKSadSI/AAAAAAAAEv0/yCKGAI_jHVo/s1600/203635_bikink111.jpg" height="212" width="320" /></a></div><br />
<br />
Jakarta - Modernitas terkadang mencoba berpikir bagaimana meninggalkan hal yang telah berlalu. Alasan modernitas jua yang mendorong orang enggan sekedar menengok ke masa lalu.<br />
<br />
Ketika zaman modern datang, ketika itu pula Ruri (41) merasa terpanggil untuk merawat Museum Bahari yang mulai ditinggalkan peminat. Sepuluh tahun mungkin bukan waktu lama jika dibanding kejayaan rempah Nusantara, tapi tak semua insan mungkin berminat memelihara museum untuk generasi esok.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
“Pokoknya wong cilik atau orang kecil seperti saya ini tidak boleh malas. Apapun yang dilakukan itu bisa menjadi inspirasi dan menjadi rezeki,” tutur Ruri di Museum Bahari, Jl. Pasar Ikan, Jakarta Utara, Rabu (19/3/2014).<br />
<br />
Di tangan Ruri kemudian sapu kecil untuk membersihkan koleksi museum berganti dengan sebuah gergaji kecil. Sebuah kesan yang jauh berbeda dengan tukang sapu museum.<br />
<br />
Menyelusuri sudut-sudut museum sambil melihat barangkali masih ada yang kotor berdebu, Ruri membawa-bawa gergaji kecil. Sebuah gestur keyakinan bahwa tak ada lagi debu yang tertinggal sehingga sapu yang seharusnya dibawa pun ditinggalkan dia.<br />
<br />
“Kalau pekerjaan bersihkan koleksi sudah selesai, saya biasanya iseng-iseng membuat miniatur kapal laut. Saya mencontoh bentuk kapal dari benda-benda koleksi museum ini. Makanya tadi saya bilang selalu ada inspirasi,” kata Ruri ketika sampai dia di bawah pohon nan rindang memayungi Ruri di sudut taman museum.<br />
<br />
Sebuah pinisi mini dipangku Ruri dalam keadaan yang separuh jadi. Bentuk lekuk badan kapal yang menyerupai asli itu menegaskan ketelitian Ruri dalam bekerja. Siapa sangka seorang juru sapu museum dapat membuat karya estetik seperti itu.<br />
<br />
Pertama kali saya buat ini sekitar lima tahun lalu. Saya memperhatikan bentuk koleksi museum lalu coba-coba buat versi kecilnya. Ternyata ada juga yang minat walaupun jarang-jarang ada yang beli,” ucap Ruri.<br />
<br />
Siapa pula menyangka kapal buatan Ruri telah berlayar hingga negeri kincir, Belanda. Entah bagaimana cara kapal itu mampu berlabuh di Amsterdam sana itu.<br />
<br />
“Kalau orang luar negeri biasanya kalau liburan suka menyempatkan ke museum. Waktu itu ada turis yang melihat kapal buatan saya yang kebetulan saya pajang di ticket box. Lalu saya diminta buat kapal tongkang tradisional sebanyak tiga buah. Waktu itu tanpa pikir panjang langsung saya iyakan saja. Padahal belum kepikir mau gimana bikinnya waktu itu,” ujar Ruri menceritakan.<br />
<br />
Sunyi taman museum kemudian membuat suara gesekan gergaji Ruri terdengar seperti alunan musik. Angin sepoi-sepoi yang membuat siapapun merasa tenang ketimbang asap kendaraan di tengah macet yang membuat penat.<br />
<br />
Tak terbayang apa yang terjadi jika Ruri saat itu malas menerima tantangan si turis asing itu. Tak disangka pula jika ternyata jalan akan terbuka ketika seseorang tekun memperhatikan yang detil.<br />
<br />
“Waktu itu saya dibayar Rp 1.200.000 untuk setiap kapal yang saya buat. Senang sekali waktu itu apalagi itu pas tengah bulan, kalau nunggu gajian masih lama,” imbuh Ruri.<br />
<br />
Sumber:<br />
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/03/28/202950/2540267/1567/ruri-tukang-sapu-museum-berhasil-menjual-hasta-karya-ke-luar-negeriUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5588892003691656476.post-66766683150824654292014-04-05T02:07:00.000-07:002014-04-07T03:54:07.328-07:00Kisah 2 Petinju Juara Nasional Mengais Rezeki dari Warung dan MemulungJumat, 04/04/2014 10:44 WIB<br />
Kisah 2 Petinju Juara Nasional Mengais Rezeki dari Warung dan Memulung<br />
Dhani Irawan - detikNews<br />
<br />
<br />
<a href="http://3.bp.blogspot.com/-KfLoUe-WuE8/Uz52GwxfEKI/AAAAAAAAEvI/P0M0Bf8iueU/s1600/104853_petinju1.jpg" imageanchor="1"><img border="0" src="http://3.bp.blogspot.com/-KfLoUe-WuE8/Uz52GwxfEKI/AAAAAAAAEvI/P0M0Bf8iueU/s320/104853_petinju1.jpg" height="225" width="400" /></a><br />
Yanto (kaos coklat) dan Hasan (kaos hijau)<br />
<br />
<br />
Jakarta - Kedua lengannya padat bak barbel angkat beban. Kepalan tangannya masih mantap. Postur tubuhnya kokoh. Ayunan tangannya masih lincah. Tak ayal, sosok Suyanto (46) yang tegap berisi karena latihan fisik rutin semasa dia menjadi atlet tinju dulu.<br />
<br />
Tahun 1986 ketika kedua kakinya menginjak Jakarta pertama kalinya, pria asal Nganjuk, Jawa Timur, itu punya satu tujuan: menjadi petinju profesional. Cita-cita Yanto pun bak gayung bersambut. Mulai pertengahan tahun itu, dia memulai karirnya di bidang adu jotos hingga mengecap berbagai pengalaman sebagai petinju.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
“Mulai tahun 1986 dari nol. Terus aktif sampai tahun 2000, berhenti. Ya faktor usia juga. Tapi sampai sekarang masih latihan,” kata pria yang menyandang nama ring Yanto de Villa itu saat ditemui di Taman Tanah Abang 3, Jakarta Pusat, Selasa (1/4/2014).<br />
<br />
Ketika masih muda, Yanto memang gemar berkelahi. Namun, dia tak ingin sembarangan menyalurkan ‘hobi’-nya itu. Dia memilih jalur olahraga tinju agar 'hobi'-nya itu tersalurkan secara positif.<br />
<br />
“Saya memang suka berantem dulu waktu kecil. Terus zaman dulu kan TV masih hitam putih itu ada pertandingan tinju. Saya ingin jadi petinju,” kata Yanto.<br />
<br />
Yanto pernah mengecap juara di kejuaraan nasional ad-interim tinju kelas terbang mini pada tahun 1993. Namun, hidupnya kini berbanding terbalik jika dibandingkan masa-masa kejayaannya sebagai atlet dahulu. Sekarang hidupnya dihabiskan dengan menjaga sebuah warung kecil. Yanto berjualan rokok dan minuman di taman yang selalu ramai kala jam makan siang itu.<br />
<br />
Yanto tak sendiri. Kawan sejawatnya, Hasan Lobubun malah lebih nelangsa. Meski Hasan pernah merasakan sabuk juara nasional kelas bantam junior pada tahun 1987, hidupnya kini bergantung dengan mengumpulkan barang-barang bekas. <br />
<br />
Jakarta - “Hanya kumpulin botol-botol bekas, lalu dijual ke pengepul. Kalau nggak gitu ya nggak makan,” kata Hasan ketika ditemui di lokasi yang sama.<br />
<br />
Hasan sedikit sulit untuk diajak berkomunikasi. Hal itu karena kehidupannya sebagai petinju rentan dengan pukulan yang bisa membuat tubuh terganggu.<br />
<br />
“Biasanya seperti itu. Kalau nggak pendengaran terganggu atau sering lupa. Saya juga agak sulit untuk pendengaran,” kisah Yanto tentang sahabatnya itu.<br />
<br />
Yanto dan Hasan memang berkawan karib sejak berkarir sebagai atlet tinju. Namun, nasib baik tampaknya tak berpihak pada mereka berdua. Bahkan, Hasan mengaku tidak mempunyai tempat tinggal dan sehari-hari tidur di pos dekat taman itu.<br />
<br />
"Mana ada punya rumah. Ngumpulin barang bekas itu sehari ya Rp 5 ribu sampai Rp 20 ribu," kata Hasan.<br />
<br />
"Harus pinter-pinter muterin uangnya. Ya Alhamdulillah bisa nyekolahin anak. Kita-kita ini juara nasional, tapi itu nasib-nasiban juga," tutur Yanto menimpali Hasan, sembari meladeni pembeli di taman di tengah kota metropolitan ini.<br />
<br />
Keduanya berharap pemerintah memperhatikan nasib mantan atlet yang pernah mengharumkan nama bangsa di kancah olahraga tinju itu. Meski begitu, keduanya tak patah arang. Daripada menunggu uluran tangan belas kasihan, mereka telah lebih dulu menghantam kejamnya hidup di Ibukota dengan kepalan tangan sendiri.<br />
<br />
Pada masa pemerintahan SBY dan Menpora Adhyaksa Dault, mereka berdua juga pernah bertemu dan bersalaman dengan SBY pada tahun 2007. Namun sayang, keduanya terlalu segan untuk menyampaikan keluh kesahnya sebagai mantan atlet nasional yang terpinggirkan.<br />
<br />
"Dulu zamannya pak Adhyaksa, kita mantan atlet diajak ke Istana. Waktu itu saya udah dagang kayak gini. Ya gimana, mungkin nggak ada sesi tanya-jawabnya, jadi nggak berani ngomong. Ya ke depan semoga pemerintah lebih memperhatikan. Mungkin dikasih rumah atau beasiswa sekolah buat anak-anak," harap Yanto.<br />
<br />
Sumber: http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/04/04/104425/2545295/1567/kisah-2-petinju-juara-nasional-mengais-rezeki-dari-warung-dan-memulungUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5588892003691656476.post-3498814981694980202014-04-01T21:46:00.000-07:002014-04-01T21:46:01.003-07:00Manis Pedas Perjalanan Kakek Ahmad Berdagang Asinan Sejak Tahun 50anKamis, 27/03/2014 09:47 WIB<br />
Manis Pedas Perjalanan Kakek Ahmad Berdagang Asinan Sejak Tahun '50an<br />
Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews<br />
<br />
<a href="http://2.bp.blogspot.com/-JfE73-ydmOw/UzOtjlMJlBI/AAAAAAAAEso/9jbZrM3m6Ac/s1600/094925_ahmad1.jpg" imageanchor="1"><img border="0" src="http://2.bp.blogspot.com/-JfE73-ydmOw/UzOtjlMJlBI/AAAAAAAAEso/9jbZrM3m6Ac/s400/094925_ahmad1.jpg" /></a><br />
Kakek Ahmad<br />
<br />
<br />
Jakarta - Sudah bukan hal aneh lagi orang merasa kepanasan ketika berada di Jakarta. Terik matahari ditambah dengan asap hitam kendaraan mengepul-ngepul membuat tenggorokan kering.<br />
<br />
Duduk di bawah jembatan penyeberangan halte TransJakarta Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, seorang tua dengan sebuah gerobak yang berisi minuman segar. Warna cerah buah-buahan dan air yang segar terbungkus apik dalam plastik transparan dalam gerobak milik Kakek Ahmad (75).<br />
<br />
<a name='more'></a><br /><br />
“Saya jualan asinan seperti ini sudah dari tahun 1950an, waktu itu saya masih kecil tapi harus bantu mencari uang,” ujar Kakek Ahmad di siang bolong hari Jumat (21/3/2014).<br />
<br />
Asinan buatan Kakek Ahmad dan istrinya itu dijual dengan harga Rp 7.000, cukup murah karena bisa disantap bersama-sama. Jangan tanya lagi soal rasa, karena sudah teruji sejak tahun 1950an.<br />
<br />
Sejak tahun itu pula Kakek Ahmad menyusuri rute yang sama. Bagi Kakek Ahmad rasa bosan dapat langsung sirna ketika melihat senyum puas para pelanggan yang membeli asinan miliknya.<br />
<br />
“Dulu jalanan di sini masih belum diaspal, masih sempit. Sekarang jadi ramai sekali ini. Kadang seram juga jalan di jalanan ini,” kata Kakek Ahmad.<br />
<br />
Dirinya tinggal di bilangan Warung Buncit bersama dengan istri tercinta dan anak bungsunya yang baru saja lulus SMK. Anak bungsunya itu saat ini bekerja sebagai kasir sebuah restoran di Tebet, Jakarta Selatan.<br />
<br />
Tidak tahu kenapa sekeluarga saya jadi suka masakan semua. Asinan ini juga yang bikin istri saya, kalau sore itu buah-buahan dipotong-potong. Agak malam kemudian membuat airnya sambil dimasukan ke kulkas. Besok paginya saya bawa keliling dari rumah, ke Tegal Parang, ke Gedung Trans TV, terus siang mangkal di sini, nanti sekitar jam 16.00 WIB geser lagi ke kompleks sana,” tutur Kakek Ahmad.<br />
<br />
Gerobak miliknya berukuran 1,5 x 1 x 0,5 meter persegi dengan bagian mirip akuarium yang terisi bungkusan asinan. Setiap harinya Kakek Ahmad membawa 60 - 80 bungkus asinan segar.<br />
<br />
“Alhamdulillah hampir setiap hari habis semua asinannya. Karena tidak pakai bahan-bahan kimia jadinya pembeli biasanya bisa simpan di kulkas dan dimakan pas sedang santai,” kata Kakek Ahmad.<br />
<br />
Seorang pembeli kemudian muncul dari sebuah gedung perkantoran di dekat Kakek Ahmad mangkal. Kakek itu kemudian berdiri untuk melayani pelanggan, saat itulah nampak tubuh Kakek Ahmad rupanya sudah membungkuk.<br />
<br />
Tangan kakek Ahmad sudah bergetar ketika mengambilkan asinan dari wadah yang dingin itu. Butuh waktu sekitar semenit untuk mengambil sebuah asinan, tetapi sang pelanggan memaklumi dan sabar menanti.<br />
<br />
“Sebenarnya anak saya sudah melarang saya untuk jualan, tapi saya malah merasa capai kalau menganggur. Hanya nonton TV di rumah, saya lebih baik bekerja saja,” ucap Kakek Ahmad.<br />
<br />
“Lagipula asinan ini kan makanan khas Betawi yang bisa dibilang hampir punah, makanya saya tetap masih akan berdagang asinan,” lanjut Kakek Ahmad.<br />
<br />
Sumber:http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/03/27/094722/2538123/1567/manis-pedas-perjalanan-kakek-ahmad-berdagang-asinan-sejak-tahun-50anUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5588892003691656476.post-63892191129795259382014-03-29T21:43:00.000-07:002014-03-29T21:43:00.511-07:00Pedihnya Hidup Ableh di Perkampungan Cina Benteng TangerangSenin, 24/03/2014 12:04 WIB<br />
Wong Cilik<br />
Pedihnya Hidup Ableh di Perkampungan Cina Benteng Tangerang<br />
Dhani Irawan - detikNews<br />
<br />
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-57EJpcDfMaw/UzOsNnMTf6I/AAAAAAAAEsc/z7rZxhUqd04/s1600/120641_ableh.jpg" imageanchor="1"><img border="0" src="http://4.bp.blogspot.com/-57EJpcDfMaw/UzOsNnMTf6I/AAAAAAAAEsc/z7rZxhUqd04/s400/120641_ableh.jpg" /></a><br />
Ableh<br />
<br />
<br />
Tangerang - Matahari berdiri tepat di atas ubun-ubun. Panas tak dihiraukan Ableh (53), yang sedari tadi berkutat membersihkan makam di pekuburan di daerah Sewan, Rawa Kucing, Tangerang.<br />
<br />
Kulit Ableh kusam karena sering bergelut dengan tanah makam. Telapak tangannya jauh dari kata halus. Saat itu, dia sedang mencabuti rumput liar yang tumbuh di atas gundukan makam khas etnis Tionghoa.<br />
<br />
<a name='more'></a><br /><br />
"Kerjaan ya apa aja. Serabutan gini. Ini ngebersihin makam punya orang, disuruh ya saya kerjain. Apa aja asal ada bayarannya," kata Ableh di sebuah perkampungan Cina Benteng, Sewan, Tangerang, Banten, Selasa (18/3/2014).<br />
<br />
Ableh adalah nama yang disematkan orang-orang padanya. Kalau nama asli Ableh yaitu Tan Cang In. Pria keturunan Tionghoa itu sudah tinggal di RT 03/06, Sewan, Rawa Kucing, Tangerang, Banten sejak tahun 1978.<br />
<br />
"Kalau saya aslinya dari Kota, di Jembatan Dua. Bini yang asli sini. Abis nikah baru saya pindah ke sini. Itu juga rumah bukan punya sendiri. Saudara ngasih, ya kita nempatin aja," kata Ableh sembari mengambil air dari kubangan tak jauh dari situ untuk disiram ke gundukan tanah makam.<br />
<br />
Ableh mengaku dibayar setahun sekali untuk membersihkan makam dari rumput liar. Kadang dia membersihkan seminggu sekali atau 2 minggu sekali. Bapak 3 anak itu diberi tanggung jawab untuk membersihkan sekitar 10 makam di pekuburan itu.<br />
<br />
"Biasanya dibayar setahun sekali. Kalau ini Rp 150 ribu setahun, kalau yang kecil kayak gitu ya paling Rp 50 ribu. Itupun kadang dibayar juga orangnya sambil ngomel. Dibilang kurang bersih lah, kurang rapi lah," ucap Ableh sambil sesekali mengelap tangannya yang penuh lumpur.<br />
<br />
Membersihkan makam bukanlah pekerjaan tetap Ableh. Seringkali Ableh menerima apapun atau biasa disebut kerja serabutan. Yang penting tungku di rumah tetap mengepul.<br />
<br />
"Kadang ada temen yang nyuruh benerin genteng. Dari pagi sampai sore itu. Barang Rp 40 ribu dapet lah yang penting bisa ngempan (memberi makan) anak bini," ucapnya.<br />
<br />
Rumah Ableh hanya sepelemparan batu saja dari pekuburan orang-orang Tionghoa itu. Tampak atapnya yang dari jerami dengan dinding dari anyaman bambu serupa bilik. Namun Ableh tak mengeluh dengan keadaannya yang memprihatinkan itu.<br />
<br />
"Ya bahagia aja lah, walaupun hidup saya sekarang, ketemu uang ya udah syukur, nggak ya nggak apa-apa," kata Ableh sembari duduk di antara makam-makam etnis Tionghoa yang menjulang.<br />
<br />
Mata Ableh memang sipit seperti laiknya orang-orang keturunan Tionghoa. Namun kesan kulit yang putih cerah tidak tampak pada Ableh. Seolah daki kehidupan yang berat telah mengerak di setiap jengkal tubuhnya.<br />
<br />
"Saya mah nggak peduli (sama para pemimpin). Belum tentu gue mikirin elu, elu juga mikirin gue. Yang penting saya nyari duit aja buat ngasih makan anak bini," gugatnya pada para calon pemimpin bangsa yang menggembar-gemborkan kepedulian pada rakyat kecil.<br />
<br />
Sumber:<br />
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/03/24/120411/2534552/1567/pedihnya-hidup-ableh-di-perkampungan-cina-benteng-tangerangUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5588892003691656476.post-63522263655329686572014-03-26T21:35:00.000-07:002014-03-26T21:37:12.415-07:00Gowesan Wagiyo Mengayuh Onthel Selama 22 TahunSenin, 24/03/2014 10:40 WIB<br />
Gowesan Wagiyo Mengayuh Onthel Selama 22 Tahun<br />
Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews<br />
<br />
<br />
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-_jtPX0TV3z0/UzOqXTTIRtI/AAAAAAAAEsQ/Tucdk2mPG5Y/s1600/104457_wagiyo.jpg" imageanchor="1"><img border="0" src="http://4.bp.blogspot.com/-_jtPX0TV3z0/UzOqXTTIRtI/AAAAAAAAEsQ/Tucdk2mPG5Y/s400/104457_wagiyo.jpg" /></a><br />
Wagiyo<br />
<br />
<br />
Jakarta - Sore cerah di pinggir utara Jakarta cukup ramai lalu lalang orang-orang di kawasan Pasar Ikan. Sebuah senja biasa bagi pedagang dan pembeli di pasar tradisional yang menjajakan aneka kebutuhan sehari-hari.<br />
<br />
Nyaring terdengar lonceng sepeda dari sebuah sudut di jalanan Pasar Ikan, Penjaringan Jakarta Utara. Duduk di atas sadel sepeda onthel seorang pria paruh baya bernama Wagiyo dengan senyum menyapa orang-orang pasar.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
“Pekerjaan itu yang penting disyukuri jadi tidak berat. Kalau orang biasa pasti melihatnya berat, tapi kalau sudah biasa ya tidak berat,” tutur Wagiyo di Rabu (19/3/2014) sore.<br />
<br />
Wagiyo adalah satu dari beberapa tukang ojek sepeda onthel di kawasan itu. Sehari-hari dia menunggu orang yang ingin menumpang sepedanya.<br />
<br />
“Tapi kalau sekarang ya ojek onthel seperti saya kalah sama ojek motor. Paling jauh juga saya sampai Stasiun Jakarta Kota. Yang masih mau naik sepeda saya ya cuma orang-orang tua saja, atau kadang-kadang ada juga turis,” imbuh dia.<br />
<br />
Sehari-hari Wagiyo memulai mengayuh sepeda sebelum mentari terbit di ufuk timur. Beristirahat di siang hari, lalu dia mengayuh sepedanya lagi dari sore hingga hampir tengah malam.<br />
<br />
“Paling banyak sehari dapat Rp 50.000 bersih, kan kerja seperti ini capek jadi harus penting juga soal makan. Saya nggak pernah lupa makan, jadi bisa tetap menikmati pekerjaan,” kata Wagiyo sambil menuju warung makan tenda dekat pangkalan ojek onthel.<br />
<br />
Di pojokan jalan itu sebuah warung tenda berdiri, menjadi pangkalan bagi para pengayuh ojek onthel untuk menunggu penumpang. Satu demi satu pengayuh lintas zaman itu berdatangan dan tak lupa memesan teh manis hangat ke pemilik warung.<br />
<br />
Satu di antara teman-teman Wagiyo adalah Mulkad (60) yang telah mengayuh sepeda onthel sejak (35) tahun silam. Meski hanya menjadi tukang ojek, Mulkad berdandan rapi mengenakan kemeja batik walaupun sudah lusuh warnanya.<br />
<br />
“Dulu saya jadi tukang ojek seperti ini dari masih bujangan, lupa tahunnya, sekitar 35 tahun lalu lah. Waktu itu beli sepeda bekas teman, terus saya coba ngojek buat orang-orang pasar sini,” kata Mulkad sedikit terengah-engah usai menggowes sepeda tua itu.<br />
<br />
Mulkad dikenal sebagai orang yang sangat rajin dalam bekerja. Hampir tak ada waktu bagi Mulkad untuk beristirahat demi menuju target.<br />
<br />
“Sebenarnya sih tidak ada target, tapi ya saya usahakan dalam sebulan bisa terkumpul Rp 500.000. Jadi bisa kirim buat keluarga di kampung,” tutur Mulkad kemudian.<br />
<br />
Tak lama seorang bapak tua mendekati Mulkad. Hanya menunjuk ke sebuah arah, Mulkad langsung mengantarkan bapak itu ke arah yang ditunjuk telunjuk bapak berkemeja putih.<br />
<br />
Kegigihan Wagiyo dan Mulkad tak perlu dipertanyakan lagi. Namun buah kegigihan mereka nampak belum membuahkan hasil yang berbunyi nyaring senyaring lonceng sepeda.<br />
<br />
Sumber:<br />
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/03/24/104052/2534388/1567/2/gowesan-wagiyo-mengayuh-onthel-selama-22-tahunUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5588892003691656476.post-47055241880849596722014-03-25T02:34:00.000-07:002014-03-26T02:47:35.356-07:00Bocah Penjual Kerupuk dan Ayah Tunanetra<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-1bEJ3s6MhGA/Uy_-jWjKOoI/AAAAAAAAEqA/DHAxac4h4i4/s1600/rahmat-11-tahun-membantu-ayahnya-ade-djunaedi-35-yang-_140323190955-111.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://2.bp.blogspot.com/-1bEJ3s6MhGA/Uy_-jWjKOoI/AAAAAAAAEqA/DHAxac4h4i4/s1600/rahmat-11-tahun-membantu-ayahnya-ade-djunaedi-35-yang-_140323190955-111.jpg" /></a></div><br />
Rahmat (11 tahun) membantu ayahnya, Ade Djunaedi (35) yang tunanetra menjual kerupuk ikan. Mereka menjual kerupuk SPBU Pondok Pinang, Jakarta Selatan.<br />
A+ | Reset | A- <br />
<br />
Home > Nasional > Jabodetabek<br />
Bocah Penjual Kerupuk dan Ayah Tunanetra<br />
Senin, 24 Maret 2014, 11:11 WIB<br />
<br />
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bocah berpakaian lusuh menebar senyum kepada setiap pengendara sepeda motor dan pengendara mobil yang masuk ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Jalan Ciputat Raya, Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Ia bukan meminta-minta, melainkan menjual kerupuk ikan.<br />
<br />
Rahmat namanya. Usianya baru 11 tahun. Yang menjadikan bocah putus sekolah itu istimewa adalah karena ia berdagang untuk menemani ayahnya yang tunanetra.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Ayahnya, Ade Djunaedi (35 tahun), duduk bersandar di salah satu sudut teras SPBU, sekitar lima meter sebelum mushala. Kerupuk-kerupuk terbungkus plastik itu diletakkan di lantai teras. Kepada ROL, Sabtu (22/3), Ade mengaku tidak memaksa putra sulungnya itu membantu dia berjualan. "Saya senang bantu ayah," kata Rahmat.<br />
<br />
Rahmat adalah putra tertua Ade. Di rumahnya, Rahmat masih punya empat adik. Adik bungsunya berusia dua tahun. "Alhamdulillah, saya diberi anak banyak," kata Ade.<br />
<br />
Ade menceritakan, matanya tidak melihat karena kecelakaan. Saat usianya 12 tahun, mata kirinya tersambar belati teman mainnya di kampung halaman, Pelabuhan Ratu, Karawang, Jawa Barat. "Dulu saya tidak dibawa ke dokter. Namanya juga tinggal di kampung. Lama kelamaan, kedua mata saya tidak bisa melihat," kisah Ade.<br />
<br />
Beruntung, Ade punya istri yang bisa menerima keadaan fisiknya. Meski tidak memiliki fisik normal, istri Ade tetap setia menjaga anak-anaknya. "Istri saya dulu kerja di rumah makan, tapi karena anak-anak tidak ada yang jaga, jadi dia jadi ibu rumah tangga."<br />
<br />
Rahmat, siang itu, hanya memakai kaus oblong yang karet kerahnya sudah mengendur, sehingga tulang di bawah lehernya terlihat. Kaus bergambar tokoh kartun Batman berwarna putih kecokelatan dan merah yang dipakai Rahmat juga sudah berlubang di beberapa bagian. Sedangkan, Ade lebih rapih dan bersih. Ia memakai kaus berkerah berwarna abu-abu dipadu celana bahan hitam.<br />
<br />
"Biar saya bisa shalat. Kalau shalat, saya tinggal ke mushala belakang," kata Ade sembari menunjuk ke arah belakang dengan ibu jari tangan kanannya.<br />
<br />
Dalam sehari, Ade mampu menjual 100 bungkus kerupuk ikan. Satu bungkus berisi empat kerupuk ikan berukuran besar dijual Rp 6.500, sementara satu bungkus berisi 21 kerupuk ikan berukuran kecil ia hargai Rp 15 ribu. "Alhamdulillah, cukup untuk kebutuhan anak-anak," ucap Ade. Tidak jarang, orang-orang yang membeli kerupuknya tidak meminta uang kembalian.<br />
<br />
Ade mendapat pasokan kerupuk dari pabrik di Tangerang. Terkadang, ia sendiri yang harus mendatangi pabrik kerupuk untuk mengambil kerupuk dagangannya. Bersama Rahmat atau istrinya, ia harus naik-turun angkot. Tapi, tak jarang juga ada karyawan pabrik yang mengantarkan kerupuk ke rumahnya.<br />
<br />
Di SPBU Pondok Pinang Ade mengaku baru beberapa hari mangkal di sana. Sehari-harinya, ia biasa berjalan keliling masuk keluar kampung. Tak jarang, ia berjalan dari rumahnya di Rempoa ke bilangan BSD, Tangerang, Banten, atau ke sekitar Cilandak, Jakarta Selatan.<br />
<br />
Ade mengaku, biasa berjualan mulai 09.00 WIB hingga 21.00 WIB. "Bisa 20 kilo saya jalan. Jadi bolak-balik 40 kilo," kata Ade sembari menunjukkan tongkat dari bahan almunium yang membantunya berjalan.<br />
<br />
Rahmat selalu mendampingi Ade setiap berjualan. Ia mengaku, tidak malu membantu sang ayah menjajakan jualanannya. "Yang penting halal," kata Ade.<br />
<br />
Ade mengakui, Rahmat tidak pernah mengeluh ketika membantunya berjualan, meski menguras waktunya bermain. Tapi, suatu ketika Rahmat mengaku pernah diejek temannya karena jualan kerupuk. "//Cuek aja//. Rahmat bantu ayah juga untuk nabung buat biayain Umi naik haji," ujar Rahmat yang mengaku tahun ajaran baru nanti bakal kembali masuk sekolah.<br />
<br />
"Umi itu neneknya di kampung yang ngurus dia (Rahmat) dari kecil," timpal Ade.<br />
<br />
<br />
Sumber :<br />
http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/14/03/24/n2w1tn-bocah-penjual-kerupuk-dan-ayah-tunanetraUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5588892003691656476.post-35927852142118276912014-03-21T22:06:00.000-07:002014-03-26T22:07:57.543-07:00Bocah 8 Tahun Rawat Ayah di Becak RumahKamis, 20/03/2014 06:15 WIB<br />
Bocah 8 Tahun Rawat Ayah di Becak 'Rumah'<br />
<b>Nawawi: Kami Tidak Mengemis!</b><br />
Khairul Ikhwan - detikNews<br />
<br />
<a href="http://3.bp.blogspot.com/-x2KxZNNHaho/UzOxlztRw7I/AAAAAAAAEuU/RtOO4tTUWHA/s1600/062010_aisyah4ins.jpg" imageanchor="1"><img border="0" src="http://3.bp.blogspot.com/-x2KxZNNHaho/UzOxlztRw7I/AAAAAAAAEuU/RtOO4tTUWHA/s400/062010_aisyah4ins.jpg" height="300" width="400" /></a><br />
<br />
Medan - Selama tiga tahun Siti Aisyah Pulungan (8) dan ayahnya yang tengah sakit parah, Muhammad Nawawi Pulungan (56), hidup di jalanan. Belakangan, mereka menyicil becak barang untuk dijadikan tempat tinggal bagi keduanya selama satu tahun belakangan ini.<br />
<br />
Becak inilah yang dijadikan Aisyah untuk berpindah-pindah bersama ayahnya yang terkulai lemas di bak becak. Meski setiap perjalanan ada beberapa warga dan pengendara yang memberikan mereka sedekah sebagai penyambung hidup mereka, Nawawi menolak bila dirinya disebut sebagai pengemis.<br />
<br />
"Kami tidak mengemis, jika ada yang memberi kami terima," kata Nawawi di trotoar depan Masjid Raya Al Mashun, Jalan Sisingamangaraja, Medan, Sumatera Utara (Sumut), Rabu (19/3/2014) sore.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Bantuan itu tidak hanya sekedar uang. Beberapa warga kadang memberikan bantuan obat. Obat-obat itu terus diminumnya, namun kesembuhan tidak kunjung datang.<br />
<br />
Nawawi menderita sakit sejak tiga tahun lalu. Sebelumnya, dia bekerja sebagai sopir mobil boks. Lalu, penyakit paru menderanya. Semua yang dimiliki habis dijual untuk berobat ke rumah sakit.<br />
<br />
Sampai akhirnya uang tabungan yang mereka miliki menipis. Tidak mampu membayar kontrakan rumah, Nawawi memutuskan untuk tinggal di becak yang biasa digunakan untuk mengangkut barang. Sedihnya, becak itu pun mereka cicil sejak setahun lalu.<br />
<br />
Nawawi hanya dapat pasrah dengan kondisi yang menderanya kini. Namun, anak putrinya yang baru berusia delapan tahun ini tampak bersemangat untuk selalu berada di samping sang ayah. Sejak umur setahun, Aisyah sudah ditinggal pergi ibunya.<br />
<br />
"Jika umur saya pendek, saya serahkan semuanya kepada Aisyah mau bagaimana. Kalau dapat dia mencari ibunya. Sudah sejak umur satu tahun dia ditinggalkan ibunya. Entah di mana ibunya sekarang," kata Nawawi.<br />
<br />
Seperti tidak tampak rasa lelah, Aisyah yang selalu terlihat riang ini berharap dirinya bisa kembali melanjutkan sekolahnya. Sebelumnya, dia sempat mengenyam pendidikan di kelas 1 Sekolah Dasar (SD). Namun, karena kondisi sang ayah yang kian memburuk karena penyakit yang diderita, Aisyah akhirnya memutuskan untuk tinggal dan merawat ayahnya.<br />
<br />
Adapun becak yang dijadikan rumah oleh keduanya terlihat cukup sederhana, tanpa atap terpal atau berdinding yang menutupi badan becak. Ada bantal, ember, selimut, pakaian dan kebutuhan harian lainnya.<br />
<br />
Mereka tinggal dan beraktivitas di atas becak itu. Malam hari mereka memarkirkan becaknya di depan teras rumah warga di seputar Jalan Sisingamangaraja. Jika pagi tiba, mereka pindah ke sekitar Masjid Raya. Aisyah lah yang mendayung becak itu.<br />
<br />
Setiap hari keduanya memarkirkan becak mereka di samping Masjid Raya. Masjid bersejarah ini menjadi bagian dari penyambung hidup mereka. Saat masjid sedang tidak ramai, Aisyah masuk dan membersihkan tubuh di kamar mandi masjid itu. Usai mandi, dia kemudian membawa kain yang sudah dibasahi untuk mengelap tubuh ayahnya. Begitu cara ayahnya mandi.<br />
<br />
Tapi jika akan ke kamar mandi masjid, Aisyah tidak akan masuk dari pintu depan. Ini masjid yang rutin dikunjungi turis dan pejabat, jika Aisyah terlihat masuk dari depan, bisa menyulitkan penjaga. Maka Aisyah masuk dengan cara melompati pagar masjid. Penjaga masjid tahu, tapi tidak memarahi.<br />
<br />
Kondisi Aisyah dan ayahnya itu rupanya mendapat perhatian dari berbagai kalangan, termasuk Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Medan Dzulmi Eldin. Pemkot pun akhirnya membawa Nawawi ke Rumah Sakit Umum (RSU) Prongadi, Medan. Nawawi dirujuk sekitar pukul 22.30 WIB, Rabu (19/3) malam.<br />
<br />
Selain membantu Nawawi, Pemkot Medan menjanjikan Aisyah untuk dapat kembali bersekolah seperti yang diimpikannya. Biayanya pun menjadi tanggungan pemerintah setempat.<br />
<br />
"Akan kita sekolahkan. Dia harus sekolah," kata Eldin kepada wartawan, Rabu (19/3/2014) malam di lokasi mangkal becak yang menjadi ‘rumah’ Aisyah dan ayahnya di depan Dhea Saloon, Jalan Sisingamangaraja, Medan, Sumatera Utara (Sumut).<br />
<br />
<br />
Sumber: http://news.detik.com/read/2014/03/20/061835/2531042/10/nawawi-kami-tidak-mengemis?nd771104bcjUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5588892003691656476.post-1192417389424718322014-03-18T21:26:00.000-07:002014-03-26T21:36:41.596-07:00Kisah Andi 37 Tahun Merawat Makam Para Tokoh BangsaKisah Andi, 37 Tahun Merawat Makam Para Tokoh Bangsa<br />
Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews<br />
Senin, 17/03/2014 10:52 WIB<br />
<br />
<a href="http://3.bp.blogspot.com/-tYeAcBJYOpM/UzOoXFC0vpI/AAAAAAAAEsE/W9Vv6R93bKw/s1600/105445_tanahkusir.jpg" imageanchor="1"><img border="0" src="http://3.bp.blogspot.com/-tYeAcBJYOpM/UzOoXFC0vpI/AAAAAAAAEsE/W9Vv6R93bKw/s400/105445_tanahkusir.jpg" /></a><br />
Andi<br />
<br />
<br />
Jakarta - Setiap yang hidup adalah pasti akan mati, dan biasanya yang hidup mengenang yang telah berpulang. Bukan sekadar menghormati jasa ketika hidup, melainkan pula menambal lubang-lubang yang belum sempat disulam oleh mereka.<br />
<br />
Di makam Tanah Kusir, Jakarta Selatan terbaring pula para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Makam-makam itu nampak rapi meski telah meninggal bertahun-tahun lalu.<br />
<br />
Rupa-rupanya makam-makam itu dirawat oleh Pak Andi (52) dan rekan-rekannya sesama perawat makam. Semenjak 37 tahun silam Pak Andi mengabdikan diri untuk para kusuma bangsa dan para pendahulu lainnya.<br />
<br />
<a name='more'></a><br /><br />
“Dulu belum sebanyak ini yang dimakamkan di sini, masih lapangan luas di sini. Tapi sekarang makin banyak. Tapi yang namanya penjaga makam ya kami gitu-gitu saja sih, nggak ada perubahan,” tutur Pak Andi di samping salah satu makam pada Kamis (13/3/2014).<br />
<br />
Penghasilan yang diterima Andi tidak menentu, bergantung pada kemurahan hati para ahli waris yang menitipkan orang-orang tercinta kepada dia. Setiap satu makam biasanya Pak Andi diupahi Rp 50.000 oleh ahli waris.<br />
<br />
“Kalau saya biasanya mengurus 50 makam. Tapi tidak semuanya ngasih segitu, ada juga yang tidak ngasih. Saya sih ikhlas saja mengurus mereka, anggap saja sebagai ibadah,” kata dia.<br />
<br />
Meski begitu Pak Andi mampu menyekolahkan ketiga anaknya hingga tamat SMK. Anak sulung dan yang kedua pun telah berkeluarga, sehingga beban Pak Andi tak terlalu berat saat ini.<br />
<br />
Walaupun tidak sampai kuliah, tapi setidaknya anak-anak saya tidak ada yang putus sekolah. Untuk makan juga masih cukup buat keluarga di kampung,” ucap pria asal Karawang, Jawa Barat ini.<br />
<br />
Pak Andi kemudian berkeliling makam untuk memastikan apakah semua makam telah dibersihkan. Sedikit saja daun kering jatuh ke makam, Pak Andi langsung memungutnya sehingga nampak bersih.<br />
<br />
Di pemakaman Tanah Kusir ini, beberapa jasad yang terbaring adalah para tokoh yang membagun bangsa. Di antaranya adalah Bung Hatta dan Ali Sadikin.<br />
<br />
Sumber: http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/03/17/105237/2527654/1567/2/kisah-andi-37-tahun-merawat-makam-para-tokoh-bangsaUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5588892003691656476.post-57801027659006906022014-03-15T21:16:00.000-07:002014-03-26T21:17:03.353-07:00Kisah Pak Namin 27 Tahun Memikul Asa di Pasar Induk KramatjatiKisah Pak Namin 27 Tahun Memikul Asa di Pasar Induk Kramatjati<br />
Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews<br />
Jumat, 14/03/2014 10:20 WIB<br />
<br />
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-PtOLVEYHZe8/UzOl7LNpRyI/AAAAAAAAEr4/z8en79DNfp4/s1600/101903_pemikulsingkong.jpg" imageanchor="1"><img border="0" src="http://4.bp.blogspot.com/-PtOLVEYHZe8/UzOl7LNpRyI/AAAAAAAAEr4/z8en79DNfp4/s320/101903_pemikulsingkong.jpg" height="321" width="400" /></a><br />
<br />
Jakarta - Pagi-pagi buta di kala para eksekutif masih terlelap, geliat pasar telah berkokok mendahului ayam jago. Hampir tak pernah tidur para pedagang pasar tradisional memeras peluh dari pagi hingga malam.<br />
<br />
Siang hari di Pasar Induk Kramatjati para pekerja tak beristirahat layaknya pekerja di tempat lainnya. Terlihat gigih di salah satu sudut situ adalah Pak Namin (42) yang memikul singkong dari pemasok ke pasar.<br />
<br />
<a name='more'></a><br /><br />
"Saya jadi kuli panggul begini dari tahun 80-an, akhir 80-an lah sekitar tahun 1987. Dari dulu ya begini saja kehidupan kuli panggul. Kerja berat tapi hasilnya minim," ungkap Namin di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, Senin (10/3/2014).<br />
<br />
Di depan dia menumpuk hasil panen singkong dari Jawa Barat, masih bagian kecil dari bumi nusantara. Di depan dia itulah terpapar kekayaan alam Indonesia yang sering disebut namun jarang dilirik.<br />
<br />
"Dalam sehari saya dan dua teman lain membongkar dua sampai empat truk singkong. Kami dibayar Rp 50.000 sampai Rp 60.000 untuk satu truk yang dibongkar muat. Karena kami kerja bertiga maka itu dibagi tiga. Dalam sehari paling-paling kita bawa pulang Rp 60.000 masing-masing orangnya," tutur Namin sambil memindahkan ratusan singkong dari truk ke keranjang.<br />
<br />
Keranjang yang sudah penuh kemudian ditimbang oleh Namin dengan hasil timbangan yang membuat mata siapapun terbelalak. Tak kurang dari setengah kuintal singkong dia pikul untuk setiap keranjangnya.<br />
<br />
"Sudah biasa memikul begini dari dulu. Tapi setiap hari tetap saya berharap semoga kehidupan saya lebih baik, sambil terus kerja jadi kuli panggul singkong seperti ini," kata Namin setelah singkong yang ia pikul ditimbang.<br />
<br />
Singkong-singkong itu kemudian dimasukan dalam karung untuk dijual ke para pengecer maupun pabrik-pabrik besar. Dari tangan Pak Namin dan kawan-kawan inilah nikmatnya singkong hangat yang ditanam petani dapat tersaji di meja orang banyak.<br />
<br />
Seberat-beratnya beban yang dipikul Pak Namin itu tak lantas mebuat dia mengeluh. Dalam benak badan berpeluh itu tersimpan beribu asa yang dipikul bersama hasil bumi.<br />
<br />
Sumber: http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/03/14/101240/2525522/1567/kisah-pak-namin-27-tahun-memikul-asa-di-pasar-induk-kramatjatiUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5588892003691656476.post-17189833871303504342014-02-28T03:13:00.000-08:002014-03-26T03:15:14.418-07:00Bocah Berkebutuhan Khusus Rawat Ayahnya yang StrokeBocah Berkebutuhan Khusus Rawat Ayahnya yang Stroke<br />
Kamis, 27 Februari 2014 | 08:59 WIB <br />
<br />
<a href="http://2.bp.blogspot.com/-y7hLSo29ybM/UzKn9affCEI/AAAAAAAAEro/2O8Ev8kyW5k/s1600/0846587P1000932780x390.JPG" imageanchor="1"><img border="0" src="http://2.bp.blogspot.com/-y7hLSo29ybM/UzKn9affCEI/AAAAAAAAEro/2O8Ev8kyW5k/s320/0846587P1000932780x390.JPG" height="200" width="400" /></a><br />
<br />
Miranda, bocah berusia 10 tahun merawat bapaknya Andi Sukri Sondo (55) yang lumpuh akibat stroke.<br />
<br />
KENDARI, KOMPAS.com — Dengan tekun dan penuh kesabaran, Miranda, bocah berusia 10 tahun, merawat bapaknya, Andi Sukri Sondo (55), yang lumpuh akibat stroke. Bukan hanya masih belia, Miranda adalah bocah berkebutuhan khusus.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Di kamar berukuran 3 x 2 meter, Miranda bersama ayahnya hidup bersama. Selama hampir tiga tahun, ia seorang diri berjuang merawat ayahnya yang hanya terbaring tak berdaya di tempat tidur. <br />
<br />
Kamar yang ditempati Miranda dan ayahnya tampak kotor, lembab, dan bau. Tak sepantasnya kamar tersebut dihuni oleh orang sakit. Kondisi tambah parah bila hujan turun. Atap kamar yang bocor membuat air hujan masuk dan membasahi kasur tempat Miranda dan ayahnya tidur. <br />
<br />
Bersama ayahnya, Miranda menumpang tinggal di rumah keluarganya di lorong Tabbaci, Jalan Ir Soekarno, Kelurahan Dapu Dapura, Kecamatan Kendari Barat, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara.<br />
<br />
Saat dikunjungi, Rabu (26/2/2014), Miranda terlihat malu-malu dan menutup wajahnya. Sesekali Miranda kecil tersenyum dan mengusap rambut ayahnya dengan penuh kasih sayang.<br />
<br />
Sore itu, ia menemani ayahnya. Tugasnya menyuapi makan dan memandikan ayahnya sudah selesai dilakukan.<br />
<br />
"Untung ada anakku yang satu ini yang rawat dan temani, kasihan. Sudah tiga tahun mi saya tidak bisa gerakkan badan," tutur Andi Sukri dengan suara terbata-bata.<br />
<br />
Putus sekolah<br />
<br />
Menurut Sukri, Miranda pernah mengenyam bangku sekolah dasar, tetapi hanya sampai kelas 1 selama 4 tahun. Sebab, kondisi Miranda tak memungkinkannya belajar seperti anak-anak normal lainnya. <br />
<br />
"Di sekolahnya, dia sering diejek teman-temannya, jadi tambah parah anakku, kasihan," ujarnya sedih.<br />
<br />
Kalimat penolakan dilontarkan Miranda saat Amri S Herman, Ketua RT 02/RW 04, memintanya agar kembali sekolah. <br />
<br />
"Tidak mau, tidak ada baju sekolahku. Siapa nanti yang rawat bapakku kalau saya sekolah," ungkap Miranda spontan.<br />
<br />
Kepada Miranda, Amri menjelaskan akan menitipkan ayahnya ke panti jompo agar ia bisa sekolah lagi. Namun, Miranda menangis. "Saya tidak mau bapakku dibawa ke panti, saya tetap merawatnya," isak Miranda.<br />
<br />
Menurut Amri, Miranda sangat telaten merawat ayahnya. Tak hanya menyuapkan makan, memandikan, bahkan membersihkan buang air besar dan air kecil pun dikerjakannya.<br />
<br />
"Dalam rumah itu ada dua kepala keluarga, yakni keponakan Sukri dan mertua keponakannya, tetapi sepertinya mereka tidak peduli," ujar Amri.<br />
<br />
Untuk makan, Miranda terpaksa mengambil makanan ke rumah sepupunya yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Namun, Amri mengaku selalu mendengar anak itu menangis ketika lewat di samping rumahnya.<br />
<br />
"Saya duga Miranda habis dimarahi lagi sama sepupunya saat mengambil nasi," kata Amri.<br />
<br />
Kini, Miranda bersama ayahnya sudah bisa menikmati makanan sendiri. Sebab, banyak dermawan memberikan bantuan setelah melihat langsung kondisinya.<br />
<br />
"Setelah saya menyebarkan foto-foto dan cerita sedih Miranda dan bapaknya melalui jaringan media sosial, banyak masyarakat yang sudah datang memberikan bantuan. Bahkan, ada juga yang mengirimkan dana melalui nomor rekeningku dan saya laporkan ke bapaknya," papar Amri.<br />
<br />
Kebanyakan bantuan itu datang dari swasta dan perorangan. Namun, bantuan dari pemerintah di tingkat kelurahan sampai Pemerintah Kota Kendari belum kunjung datang.<br />
<br />
Bekas pengusaha<br />
<br />
Bagaimana kisah pilu menimpa Andi Sukri Sondo dan Miranda? Dengan mata berkaca, Sukri menceritakan, awalnya ia adalah seorang pengusaha kaya. Usaha penjualan kayu dan perkebunannya maju saat dia berdomisili di Kabupaten Konawe Utara.<br />
<br />
"Setelah saya terserang stroke delapan tahun lalu, semua usaha dikelola sama istriku. Tetapi, sayang kepercayaan dikhianati istriku, semua usahaku dijual dan uangnya dibawa kabur, ditambah istriku selingkuh dengan karyawan di perusahaanku sendiri," kata Sukri.<br />
<br />
Sukri sempat beberapa kali berobat ke Makassar, tetapi stroke yang dialami tak kunjung sembuh. Ia pun memilih untuk kembali ke Kendari dan menempati rumah pemberian keluarganya.<br />
<br />
"Rumahku disita untuk membayar utang bekas istriku, empat anakku yang lain juga pergi dengan mamanya. Tersisa Miranda anak bungsuku yang mau temani dan rawat saya," kata Sukri lirih.<br />
<br />
Penulis : Kontributor Kendari, Kiki Andi Pati<br />
Editor : Glori K. Wadrianto <br />
Sumber: http://regional.kompas.com/read/2014/02/27/0859099/Bocah.Berkebutuhan.Khusus.Rawat.Ayahnya.yang.StrokeUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5588892003691656476.post-25410716647456197632013-11-28T04:53:00.000-08:002014-03-26T02:44:09.080-07:00Pengemis di Kolong Tugu Pancoran Simpan Rp 25 Juta di Gerobak <br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-qfFVj5SUQuI/UzAcg_fP0mI/AAAAAAAAErM/LbYJFoDw_iQ/s1600/145842_pengemis.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://2.bp.blogspot.com/-qfFVj5SUQuI/UzAcg_fP0mI/AAAAAAAAErM/LbYJFoDw_iQ/s1600/145842_pengemis.jpg" height="300" width="400" /></a></div><br />
<br />
Wajar bila pengemis sulit diberantas karena fulus dari mata pencaharian ini bikin ngiler. Walang bin Kilon (54) dan Sa'aran (60), misalnya, hanya dalam 15 hari pengemis di Jakarta Selatan sukses mengantongi Rp 25 juta.<br />
<br />
Penemuan uang dari pengemis itu diungkapkan Miftahul Huda, Kepala Seksi Rehabilitasi Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, kepada detikcom, Rabu (27/11/2013). Pengemis ini ditangkap petugas Sudin Jaksel pada Selasa (26/11/2013) pukul 19.30 WIB di bawah Tugu Pancoran.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Menurut Miftahul, Walang yang merupakan aktor intelektualnya, mengemis dengan mendorong gerobak. Sedangkan Sa'aran berada di gerobak dan mengaku sakit.<br />
<br />
"Padahal berpura-pura saja," kata Miftahul.<br />
<br />
Saat ditangkap dan gerobaknya diperiksa, lanjut Miftahul, pihaknya menemukan banyak kantong plastik. Di dalamnya ada uang senilai Rp 25.448.600.<br />
<br />
"Kantongnya banyak. Di kantong pertama ada Rp 7 juta, di kantong yang lain ada Rp 2 juta. Duitnya recehan ada Rp 1.000, Rp 500, ada duit gede juga," tuturnya.<br />
<br />
Miftahul menambahkan, pengemis itu mengaku bahwa uang itu didapat dari hasil mengemis. Pengemis itu berada di Jakarta sejak 15 hari lalu.<br />
<br />
"Kedua pengemis ini berasal dari Subang," ucap Miftahul. Kedua pengemis itu sekarang 'diamankan' di Panti Sosial Bina Insan, Cipayung, Jakarta Timur.<br />
<br />
Sumber:<br />
http://news.detik.com/read/2013/11/27/142150/2425148/10/pengemis-di-kolong-tugu-pancoran-simpan-rp-25-juta-di-gerobakUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5588892003691656476.post-47787352812143496292011-11-20T21:53:00.000-08:002014-03-26T02:45:20.594-07:00Bapak Tua Penjual Amplop<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-BXo7_BZXa40/UzAOdMcbtKI/AAAAAAAAEqg/Bwx50Jlm1ro/s1600/181120111968.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://2.bp.blogspot.com/-BXo7_BZXa40/UzAOdMcbtKI/AAAAAAAAEqg/Bwx50Jlm1ro/s1600/181120111968.jpg" height="300" width="400" /></a></div><br />
<br />
Bapak Tua Penjual Amplop Itu<br />
Posted on 19 November 2011 by rinaldimunir<br />
<br />
Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.<br />
<br />
Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.<br />
<br />
Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.<br />
<br />
Bapak itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.<br />
<br />
Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.<br />
<br />
Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di fesbuk yang bunyinya begini: “bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap….”.<br />
<br />
Si bapak tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.<br />
<br />
Dalam pandangan saya bapak tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si bapak tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.<br />
<br />
Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.<br />
<br />
Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku. <br />
<br />
Sumber:<br />
http://rinaldimunir.wordpress.com/2011/11/19/bapak-tua-penjual-amplop-itu/Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5588892003691656476.post-80731019427432141372010-05-18T10:41:00.000-07:002014-03-26T03:14:16.579-07:00Sehari-hari Ida Tidur di Kandang KambingSehari-hari Ida Tidur di Kandang Kambing<br />
Selasa, 18 Mei 2010 | 10:21 WIB<br />
<br />
TANGERANG, KOMPAS.com — Nasib Ida (72) sungguh memprihatinkan. Di usia senja, hidupnya justru makin pedih.<br />
<br />
Ibu tiga anak itu adalah salah satu korban kebijakan Pemerintah Kota Tangerang. Nenek beberapa cucu itu kini terpaksa harus tidur di kandang kambing karena rumah gubuknya sudah rata dengan tanah, dibuldoser Pemkot Tangerang dua pekan setelah Lebaran 2009.<br />
<br />
"Saya memang bukan orang asli Tangerang. Saya dari Pemalang, tapi saya tinggal di Kampung Sewan Bedeng ini sejak tahun 1975 sewaktu masih hutan," ucap Ida ketika ditemui, Senin (17/5/2010).<br />
<br />
Ida tercatat sebagai warga Kampung Sewan Bedeng, Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Neglasari. Dia digusur karena tinggal di bantaran Sungai Cisadane. Nasib Ida tiba-tiba menjadi sorotan seiring dengan rencana penggusuran warga China Benteng di Kampung Tangga Asam, Lebakwangi, dan Kokun.<br />
<br />
<a name='more'></a><br /><br />
Menurut Ida, ketika rumahnya digusur oleh Satpol PP Kota Tangerang, ada ratusan rumah bilik dan semipermanen yang memadati Kampung Sewan Bedeng. Mereka umumnya adalah warga yang terpinggirkan karena ketidakadilan.<br />
<br />
"Kebanyakan bermata pencaharian tukang asongan," ujar buruh pengupas kacang dengan upah Rp 2.000/kg itu.<br />
<br />
"Saya tak bisa berbuat apa-apa. Rumah sudah tidak punya, mau tinggal di mana lagi? Ya, terpaksa tinggal di kandang kambing milik tetangga, meskipun bau," ujar Ida seraya menyeka air mata.<br />
<br />
Tiga anaknya memang tinggal di Sewan Bedeng. Namun, nasib mereka juga tidak jauh beda. Hidup miskin dengan rumah kecil berdinding anyaman bambu.<br />
<br />
Nasib Ida yang memprihatinkan itu sempat membuat anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Budiman Sudjatmiko, terenyak. Mantan aktivis itu seolah tidak percaya, di era reformasi ini masih ada rakyat Indonesia yang hidup tidak lazim.<br />
<br />
"Bangsa ini sudah 65 tahun merdeka. Tapi ternyata masih ada yang hidup di kandang kambing. Ini sungguh tidak manusiawi. Negara harus bertanggung jawab!" ujar Budiman ketika berkunjung pekan lalu.<br />
<br />
Camat Neglasari H Habibullah mengaku tidak tahu ada warganya yang tinggal di kandang kambing. "Tak ada laporan bahwa ada yang tinggal di kandang kambing. Pak Lurah juga tidak lapor," ucapnya.<br />
<br />
Menurut Habibullah, di Kecamatan Neglasari ada tujuh kelurahan. Empat di antaranya bersinggungan langsung dengan bantaran Sungai Cisadane, yakni Kelurahan Mekarsari, Kedaung Wetan, Kedaung Baru, dan Selapajang. "Jumlah keluarganya ada sekitar 250," katanya.<br />
<br />
Berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Neglasari, kawasan bantaran Sungai Cisadane akan dijadikan ruang terbuka hijau. "Sangat berbahaya jika ada warga yang tinggal di situ," kata Habibullah. (Valentino Verry)<br />
<br />
Editor : hertanto<br />
Sumber : http://megapolitan.kompas.com/read/2010/05/18/10213327/Seharihari.Ida.Tidur.di.Kandang.KambingUnknownnoreply@blogger.com0